Bunyi Pasal 374 dan Pasal 375 UU 1/2023
Lebih lanjut, dalam UU 1/2023 tentang KUHP baru yang berlaku 3 tahun sejak tanggal diundangkan,[7] yaitu tahun 2026, tindak pidana pemalsuan mata uang dan uang kertas diatur dalam pasal-pasal berikut:
Pasal 374 jo. Pasal 79 ayat (1) huruf g
Setiap Orang yang memalsu mata uang atau uang kertas yang dikeluarkan oleh negara, dengan maksud untuk mengedarkan atau meminta mengedarkan sebagai uang asli dan tidak dipalsu, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau pidana denda paling banyak kategori VII, yaitu Rp5 miliar.
Pasal 375 jo. Pasal 79 ayat (1) huruf g dan h
Lebih lanjut, berdasarkan Penjelasan Pasal 374 UU 1/2023, dalam ketentuan ini, uang yang dipalsu atau ditiru tidak hanya mata uang atau uang kertas Indonesia, tetapi juga uang negara asing. Hal ini didasarkan Konvensi Internasional mengenai uang palsu tahun 1929 yang telah diratifikasi oleh Indonesia dengan UU 6/1981 tentang pengesahan Konvensi Internasional tentang Pemberantasan Uang Palsu beserta Protokolnya (International Convention for The Suppression of Counterfeiting Currency and Protocol, Geneve 1929).
Ketentuan selengkapnya mengenai tindak pidana pemalsuan mata uang dan uang kertas, dapat Anda temukan dalam Pasal 374 s.d. Pasal 381 UU 1/2023.
Baca juga: Tak Tahu Uang Palsu, Bisakah Dipidana Jika Membelanjakannya?
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
[1] Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang (“UU Mata Uang”)
[2] Pasal 1 angka 2 UU Mata Uang
[3] Efrita Amalia Assa (et.al). Tindak Pidana Pemalsuan Uang oleh Korporasi menurut Undang-undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang. Jurnal Lex Crimen, Vol. X, No. 3, 2021, hal. 17
[4] Recky V. Ilat. Kajian Pasal 245 KUHP tentang Mengedarkan Uang Palsu kepada Masyarakat. Jurnal Lex Crimen, Vol. V, No. 5, 2016, hal. 79
[5] Eggi Suprayogi dan Yeni Nuraeni. Pertanggungjawaban Hukum terhadap Pelaku Penyimpanan Uang Rupiah Palsu dihubungkan dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang. Presumption of Law, Vol. 3, No. 2, 2021, hal. 132
[6] Priscillia Tiffany Sutantyo. Penyimpanan Mata Uang Asing Palsu dan Penggunaan Uang Hasil Transfer Dana yang Bukan Miliknya (Suatu Tinjauan dari KUHP dan Undang-Undang No. 3 Tahun 2011 tentang Transfer Dana. Jurnal Hukum Pidana Islam, Vol. 6, No. 2, 2020, hal. 485
[7] Pasal 624 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Catatan utama dari Pasal mengenai kesusilaan di dalam UU ITE adalah banyaknya korban kekerasan seksual di ruang siber yang justru diancam dipidana. Hal ini dimungkinkan karena perumus UU ITE gagal memperhatikan pengecualian-pengecualian yang bisa terjadi bagi korban kekerasan seksual, yang dilihat dari UU ITE hanyalah cara muatan ini berpindah tangan dan dilakukan di dalam ranah siber. Tidak ada definisi dari “Kesusilaan” dan jika merujuk ke dalam KUHP, perbuatan “melanggar kesusilaan” diatur di dalam berbagai Pasal yang tersebar di dalam buku 2 KUHP tentang kejahatan dan buku 3 KUHP tentang pelanggaran.
Kesusilaan di dalam KUHP juga bergantung erat terhadap nilai kesusilaan di tempat terjadinya perbuatan, suatu hal yang bertentangan dengan konsep internet yang lintas batas (cross-border). Pasal ini juga merupakan duplikasi dengan UU No. 44 tahun 2008 tentang Pornografi yang mana di dalam UU tersebut hanya menjerat perbuatan jika muatan asusila disebarkan di muka umum atau digunakan untuk tujuan komersil, dengan demikian frasa “mentransmisikan” yang termasuk korespondensi pribadi seharusnya tidak dapat dipidana disini, terlebih jika tujuannya sebagai bukti kekerasan.
Kertas Kebijakan ini berisi masukkan atas usulan rumusan Matriks Draft RUU ITE yang ada. Semoga penelitian ini dapat bermanfaat dalam proses revisi kedua UU ITE dan memperbaikinya demi sejalan dengan perlindungan Hak Asasi Manusia dan prinsip hukum pidana.
Pasal pencemaran nama baik di dalam UU ITE banyak mengkriminalisasi ekspresi-ekspresi yang sah dan menjadi masalah pokok dari UU ITE. Permasalahan perumusan seperti delik pokok mengenai penghinaan yang diatur dengan berbagai jenis perbuatan di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) diambil dan diimplementasikan secara berantakan. Sehingga dalam beberapa kasus, kasus pidana penghinaan ringan yang seharusnya diancam dengan pidana yang relatif lebih rendah disamaratakan dengan tindak pidana yang ancaman pidananya lebih tinggi. Selain itu, tidak jelasnya unsur mentransmisikan (menyebarkan ke satu orang lain) gagal menafsirkan unsur “di muka umum” yang merupakan unsur utama dari ketentuan pencemaran nama baik di delik pokoknya di KUHP. Pasal pencemaran nama baik di dalam UU ITE menduduki Pasal yang paling banyak digunakan menurut hasil riset ICJR tahun 2021.
Kertas Kebijakan ini berisi masukkan atas usulan rumusan Matriks Draft RUU ITE yang ada. Semoga penelitian ini dapat bermanfaat dalam proses revisi kedua UU ITE dan memperbaikinya demi sejalan dengan perlindungan Hak Asasi Manusia dan prinsip hukum pidana.
1. Penggunaan Mata Uang Rupiah
Dengan disahkan nya UU No. 7 Tahun 2011 (“UU 7/2011”) tentang Mata Uang dalam Rapat Paripurna DPR pada tanggal 31 Mei 2011, maka segala transaksi yang terjadi di wilayah Indonesia diwajibkan menggunakan mata uang Rupiah. Setiap pelanggaran dari Undang-Undang ini akan diancam sanksi pidana.
Hal ini diatur dalam UU 7/2011 pasal 21 ayat (1) yang menyatakan bahwa:
Rupiah wajib digunakan dalam:
2. Pengecualian Kewajiban Penggunaan Rupiah
a. Pengecualian Terhadap Jenis Transaksi Tertentu
Dalam Undang-Undang ini juga memberikan beberapa pengecualian untuk beberapa transaksi tertentu, seperti yang dijelaskan dalam pasal 21 ayat (2) berikut:
Kewajiban sebagaimana dimaksud pada pasal 21 ayat (1) tidak berlaku bagi:
b. Penaman Modal Asing
Dalam UU No. 25 Tahun 2007 pasal 8 ayat (3) tentang penanaman modal menyatakan bahwa untuk penanam modal diberi hak untuk diberi hak untuk melakukan transfer dan repatriasi dalam valuta asing, antara lain terhadap:
pembelian bahan baku dan penolong, barang setengah jadi, atau barang jadi; atau
penggantian barang modal dalam rangka melindungi kelangsungan hidup penanaman modal;
c. Pajak dan Pembukuan
Selain itu untuk tujuan pembukuan atau pajak Menurut Permenkeu 196/PMK.03/2007 pasal 2, Wajib Pajak dapat menyelenggarakan pembukuan dengan menggunakan bahasa asing dan satuan mata uang selain Rupiah yaitu bahasa Inggris dan satuan mata uang Dollar Amerika Serikat.
Dalam Permenkeu 196/PMK.03/2007 pasal 3 huruf (a), Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 meliputi: Wajib Pajak dalam rangka penanaman modal asing yang beroperasi berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan penanaman modal asing.
Dalam Permenkeu 196/PMK.03/2007 pasal 4 ayat (1), penyelenggaraan pembukuan dengan menggunakan bahasa Inggris dan satuan mata uang Dollar Amerika Serikat oleh Wajib Pajak harus terlebih dahulu mendapat izin tertulis dari Menteri Keuangan, kecuali bagi Wajib Pajak dalam rangka Kontrak Karya atau Wajib Pajak dalam rangka Kontraktor Kontrak Kerja Sama.
Dalam Permenkeu 196/PMK.03/2007 pasal 4 ayat (2), izin tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diperoleh Wajib Pajak dengan mengajukan surat permohonan kepada Kepala Kantor Wilayah, paling lambat 3 (tiga) bulan:
Dalam UU 7/2011 pasal 33 ayat (1) menyatakan bahwa setiap orang yang tidak menggunakan Rupiah dalam:
Dalam UU 7/2011 pasal 33 ayat (2), setiap orang dilarang menolak untuk menerima Rupiah yang penyerahannya dimaksudkan sebagai pembayaran atau untuk menyelesaikan kewajiban yang harus dipenuhi dengan Rupiah dan/atau untuk transaksi keuangan lainnya di Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, kecuali karena terdapat keraguan atas keaslian Rupiah sebagaimana dimaksud dalam pasal 23 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan pidana denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
Dalam UU 7/2011 pasal 39 ayat (1), pidana yang dijatuhkan terhadap korporasi berupa pidana denda dengan ketentuan ancaman pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada pasal 33 di atas ditambah 1/3 (satu per tiga).
Dalam UU 7/2011 pasal 39 ayat (2), dalam hal terpidana korporasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mampu membayar pidana denda, dalam putusan pengadilan dicantumkan perintah penyitaan harta benda korporasi dan/atau harta benda pengurus korporasi.
Dalam UU 7/2011 pasal 39 ayat (3), selain sanksi pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 33, pasal 34, pasal 35, serta pasal 36, atau pasal 37, setiap orang dapat dikenai pidana tambahan berupa pencabutan izin usaha dan/atau perampasan terhadap barang tertentu milik terpidana.
Seperti yang telah dijelaskan dalam UU 7/2011 pasal 21 ayat (1) tentang kewajiban penggunaan mata uang Rupiah untuk transaksi tertentu dan pengecualiannya dalam pasal 21 ayat (2), maka dalam hubungan dengan kegiatan perusahaan dimana terdapat berbagai macam transaksi, baik itu operasional maupun kontraktual, maka yang perlu diperhatikan sesuai dengan ketentuan adalah (a) setiap transaksi yang mempunyai tujuan pembayaran dalam Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia harus menggunakan mata uang Rupiah dan (b) pengecualian dalam transaksi perdagangan internasional. Transaksi perdagangan internasional dapat diartikan sebagai transaksi perpindahan barang (berwujud atau tidak berwujud) dan/atau jasa dan disertai dengan pembayaran yang melewati batas negara. Untuk transaksi perdagangan internasional tersebut dapat menggunakan valuta asing, demikian juga sebaliknya apabila transaksi dilaksanakan di dalam wilayah Indonesia, maka harus menggunakan mata uang Rupiah.
Dalam hal ini, yang dimaksud dengan transaksi harus menggunakan mata uang Rupiah adalah untuk prosedur pembayarannya, sedangkan untuk tarif dapat menggunakan valuta asing.
Secara umum UU 7/2011 masih belum memberikan penjelasan secara spesifik, sehingga mungkin dapat menimbulkan interpretasi yang berbeda-beda, maka merujuk pada Ketentuan Penutup (pasal 47) peraturan perundang-undangan sebagai peraturan pelaksanaan Undang-Undang ini harus sudah ditetapkan paling lama 1 (satu) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan (28 Juni 2011). Diharapkan dengan adanya peraturan pelaksana tersebut maka pembatasan dalam penggunaan mata uang Rupiah dapat diatur secara tegas.
Agar dalam setiap transaksi pembayaran yang dilakukan dalam Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia menggunakan mata uang Rupiah, kecuali untuk transaksi perdagangan internasional.
%PDF-1.3 %Äåòåë§ó ÐÄÆ 3 0 obj << /Filter /FlateDecode /Length 213 >> stream x��ÁŠÂ0E÷ùŠ««ºhš÷š¤ÍÖ™YÌÎBÀµ” Sµóÿ“´("¢%›òx'÷t¨ÐA…cœA©}ƒ-ŽÈ>B=ŒO C§$ëé•°LÒ1êk/L\Ö(0¤¬s‚o‘yÏi�d±‚ÿÁ—È5T 7(@æ*¦Uï¡‘v…ªÂ=¡Šd9—:U{YUŒU賓´Ìƒµ}Ç�Þ$‹Qò¦éëæ|ùÛý¢?'–´öâhi]ˆ®@ª¥ÕÎ1!U’Œ³Šmtž}·„Ï*Qý�¸b§ endstream endobj 1 0 obj << /Type /Page /Parent 2 0 R /Resources 4 0 R /Contents 3 0 R /MediaBox [0 0 595 842] /Rotate 0 >> endobj 4 0 obj << /ProcSet [ /PDF /Text /ImageB /ImageC /ImageI ] /ColorSpace << /Cs1 5 0 R >> /Font << /TT2 7 0 R >> /XObject << /Im1 8 0 R >> >> endobj 8 0 obj << /Type /XObject /Subtype /Image /Width 1877 /Height 2656 /Interpolate true /ColorSpace 5 0 R /BitsPerComponent 8 /Length 10299335 /Filter /FlateDecode >> stream x´½wT[WÖ6þÿï{ß™Œé] Ž ‰& „ �èê]¢©Ò{Ç°Á݃`cccL/ã÷8É$S2“™ô8NqÂo‹›ÜÑ‹�Ìd¾÷[ëYg=gŸ½÷9÷êÞsͳö:ž½Ò?s¹ozääÔ¥““{'/öŒ_8qíBÏØ…Þ«zGÏ÷\:qyðøÈÀ±K玎œ; íO8{ôâÙ#ÃgŸ>táÔÁóý‡ú ìë<Ù=лÿlϾ3':ÂñγÇ:œ9ÚqúÐÞþ»ûºw�ü½]»zöï<±oÇñζã�ÛŽun=Ú±åhÇæÃ{6ÚÝŠàà®Öƒí ;[ºw4ïokÚ×ÖÔ¹½aïÖº½[ë;¶ÕïØÖбµÞÚý»7׶·V··TvµVïÞ\ص©zgKe[SùöƲí eÐßÑ\±³©¼¡Á¶úâuE›k-5––jss•M•¦† C}™¾®´°¶¤°º¨°ÊRPeί4åYa䃥Pd…uÔêPXe*¨4ò+Œàlå†üÒÂÜ¢|�9WeÒ)M¹*s¾Ê\ 4äÉò4B€>Ob*�›òe…Za®*[§ÌÊSåèµâB�¨@-̬ºåªE¶N•“«j•ÙE´ µ<±«åYÀ(¥ Iš\Ì_EšB’¾Š4©ˆ/¥ÊÄ©È�¸è'nk‘ SÈ ƒ$]*J“ ùA*@&‚´éd`ÌIe%3“ÄÙ<éªXÄ?C*à#þ ¬Ç TJ2 H"J¢’šaåY@`Ù µÌÚµ^”2'W)Ð)r´Šl tu*\~¾Fœ¯•äë¤:™>OaÈWó5¦¹PWdÈ+µ–*J •e¦ê KmMICCycSeskõæ-õÛÛšw¶onß³e÷Þm�mûºÚ»î9t¤óÈñýÇ{ôöî;}ôÔ™c§Ï�ì½t¾ïò…S£O�]:31rvräìÔå�ÙÑ¡ù±‹×†o\»¸»¸4qqijdiúàÆô¥›3#·fGnÏ]~káê½…k÷¯O
Citations are generated automatically from bibliographic data as a convenience, and may not be complete or accurate.
Bunyi Pasal 244 dan Pasal 245 KUHP
Sebelum menjawab pertanyaan Anda, pada dasarnya, mata uang adalah uang yang dikeluarkan oleh Negara Kesatuan Republik Indonesia yang selanjutnya disebut Rupiah.[1] Sedangkan uang adalah alat pembayaran yang sah.[2]
Kemudian, benar bahwa Pasal 244 KUHP lama yang pada saat artikel ini diterbitkan masih berlaku mengatur tentang tindak pidana pemalsuan mata uang dan uang kertas. Berikut adalah bunyi Pasal 244 KUHP:
Barang siapa meniru atau memalsu mata uang atau uang kertas yang dikeluarkan oleh Negara atau Bank, dengan maksud untuk mengedarkan atau menyuruh mengedarkan mata uang atau uang kertas itu sebagai asli dan tidak dipalsu, diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.
Dari bunyi pasal di atas, sebagaimana mengutip pendapat P.A.F. Lamintang dan Theo Lamintang, Efrita Amalia Assa (et.al) dalam jurnal Tindak Pidana Pemalsuan Uang oleh Korporasi menurut Undang-undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang menjelaskan bahwa setidaknya terdapat beberapa unsur Pasal 244 KUHP, yaitu (hal. 17):
Namun, rumusan Pasal 244 KUHP tidak mensyaratkan unsur-unsur dengan sengaja. Walau demikian, pelaku memiliki maksud untuk mengedarkan atau menyuruh mengedarkan seolah-olah mata uang, uang kertas negara atau uang kertas bank itu asli dan tidak dipalsukan. Sehingga, kiranya sudah jelas bahwa tindak pidana yang dimaksudkan dalam Pasal 244 KUHP itu merupakan tindak pidana yang harus dilakukan dengan sengaja, sehingga hakim pun harus dapat membuktikan terpenuhinya unsur kesengajaan tersebut oleh pelaku.[3] Dalam arti lain, tindak pidana dalam Pasal 244 KUHP merupakan tindak pidana yang mensyaratkan kesengajaan (opzet), yang tampak pada frasa “dengan maksud”.[4]
Selanjutnya, Pasal 244 dan Pasal 245 KUHP merupakan titik sentral atau inti pengaturan dan pembahasan tentang pemalsuan dan peredaran uang sebagai tindak pidana yang berkaitan dengan otoritas negara dan Bank Indonesia di bidang mata uang atau uang kertas maupun mata uang Rupiah.[5]
Berikut adalah bunyi Pasal 245 KUHP:
Barang siapa dengan sengaja mengedarkan mata uang atau uang kertas yang dikeluarkan oleh Negara atau Bank sebagai mata uang atau uang kertas asli dan tidak dipalsu, padahal ditiru atau dipalsu olehnya sendiri, atau waktu diterima diketahuinya bahwa tidak asli atau dipalsu, ataupun barang siapa menyimpan atau memasukkan ke Indonesia mata uang dan uang kertas yang demikian, dengan maksud untuk mengedarkan atau menyuruh mengedarkan sebagai uang asli dan tidak dipalsu, diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.
Adapun unsur Pasal 245 KUHP adalah sebagai berikut:[6]
Ketentuan selengkapnya mengenai tindak pidana pemalsuan mata uang dan uang kertas, dapat Anda temukan dalam Pasal 244 s.d. Pasal 252 KUHP.
Baca juga: Cara Lapor Uang Palsu dan Ciri-ciri Keaslian Uang Rupiah
Chicago citation style:
Rahmawati, Maidina, Author, Indonesia, and Publisher Institute For Criminal Justice Reform. Menelisik pasal bermasalah dalam UU ITE pasal 27 ayat 1 tentang kesusilaan. [Pasar Minggu, Jakarta: Institute for Criminal Justice Reform, 2021] Pdf. https://www.loc.gov/item/2022320929/.
Rahmawati, M., Indonesia & Institute For Criminal Justice Reform, P. (2021) Menelisik pasal bermasalah dalam UU ITE pasal 27 ayat 1 tentang kesusilaan. [Pasar Minggu, Jakarta: Institute for Criminal Justice Reform] [Pdf] Retrieved from the Library of Congress, https://www.loc.gov/item/2022320929/.
Rahmawati, Maidina, Author, Indonesia, and Publisher Institute For Criminal Justice Reform. Menelisik pasal bermasalah dalam UU ITE pasal 27 ayat 1 tentang kesusilaan. [Pasar Minggu, Jakarta: Institute for Criminal Justice Reform, 2021] Pdf. Retrieved from the Library of Congress,
Website Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan yang menampilkan Database Peraturan Perundang-undangan yang memuat informasi mengenai jenis, status, hubungan antar peraturan, dan statistik peraturan perundang-undangan
Terima kasih untuk pertanyaan Anda.
Artikel ini dibuat berdasarkan KUHP lama dan UU 1/2023 tentang KUHP yang diundangkan pada tanggal 2 Januari 2023.
Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.